Rabu, 07 Desember 2011

SYAIKH NAWAWI AL-BANTANI


BIOGRAFI NAWAWI ALBANTANI
Syaikh Nawawi lahir pada 1825 M. di desa Tanara Kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang Banten. Dan beliau wafat pada 1897 M. di Makkah al-Mukaromah. Beliau dimakamkan di Ma'la,[1] yang letaknya bersebelahan dengan istri Nabi yakni Khatijah (Umm-Almu'minin). Beliau terlahira dari kalangan muslim dengan seorang ayah bernama Umar bin Arabi dan Nyai Zubaidah.
Dari seorang ayah yang bertugas sebagai penghulu[2] itu, Syaikh Nawawi pertama kali mendapatkan pelajaran agama Islam. Mula-mula yang didapat adalah ilmu-ilmu dasar agama Islam dan bahasa Arab. Beliau juga belajar ilmu kalam, nahwu, tafsir dan Fiqh. Pendidikan tersebut didapat sekitar tiga tahun lamanya. Setelah mendapatkan dasar-dasar pengetahuan agama, Syaikh Nawawi melanjutkan pelajarannya ke Haji Sahal, yakni seorang guru terkenal di Banten pada waktu itu. Beliau belajar dengan saudara-saudaranya yaitu Tamim dan Ahmad.
Menurut Chaidar,[3] sebelum Syaikh Nawawi, Tamim dan Ahmad pergi menunut ilmu, Syeh Nawawi yang pada waktu itu berusia 8 tahun terlebih dahulu meminta do'a restu dari ibunya yakni Nyai Zubaidah. Dan kemudian ibunya melepas keprgian Syaikh Nawawi, Tamim dan Ahmad dengan hati penuh ikhlas dan ibunya berharap agar anaknya memperoleh ilmu yang bermanfaat, namun sebelum mereka berangkat, ibunya berpesan:
"Aku do'akan dan aku restui keprgianmu mengaji," ucap ibunya sambil mengelus rambut anaknya. " tapi denga stau syaratyaitu jangan kalian pulang sebelum kelapa yang sengaja ibu tanam berbuah".
Kemudian Syaikh Nawawi, Tamim dan Ahmad berpamitan seraya mencium tangan ibunya. Mereka bertiga pamit untuk pergi menuntut ilmu. Dengan bekal satu syarat dari ibunya tersebut, mereka pegang kuat di dasar hati mereka, mula-mula mereka belajar dari seorang alim di Banten yaitu Haji Sahal yang kemudian mereka berpindah ke daerah timur Purwakarta dekat Karawang. Mereka belajar pada seorang ulama' terkenal yaitu Raden Haji Yusuf.
Setelah merasa cukup, Syaikh Nawawi beserta saudaranya menuntut ilmu di pesantren Raden Haji Yusuf, beliau mengirim surat pada ibunya, karena beliau selalu ingat akan pesan ibunya agar jangan pulang terlebih dahulu sebelum pohon kelapa yang ditanam ibunya berbuah.
Lama Syaikh Nawawi menanti jawaban dari ibunya, namun tak kunjung datang jua. Dan akhiranya beliau memutuskan untuk pergi meninggalkan pondok pesantren Raden Haji Yusuf bersama saudaranya. Mereka kemudian tiba di pondok pesantren di daerah Cikampek (Jawa Barat) untuk belajar ilmu lughat (bahasa arab). Namun ketika mereka mau memulai menuntut ilmu sang Kyai menguji dahulu kepada Syaikh Nawawi ,Tamim dan Ahmad. Ternyata dinyatakan lulus sehingga sang kyai mengatakan bahwa mereka sudah tidak perlu mengulang belajar di pondok pesantren itu, dan kiai malah mempersilahkan pada Syaikh Nawawi dan saudaranya untuk segera pulang. Ketika itu sang kiai mengatakan:
"Ilmu kalian sudah cukup. Kalian pulanglah karena, karena kalian sudah ditunggu oleh ibu kalian. Sebab pohon kelapa di rumah berbuah."
Dengan penuh rasa takjub, Syaikh Nawawi mendengarkan ucapan sang kiainya itu. Lalu mereka berpamitan dan pulang ke desa kelahirannya. Alangkah terkejutnya Syaikh Nawawi ketika sampai di rumah, ternyata apa yang dikatakan kiai cikampek memang benar. Pohon kelapa yang ditanam ibunya kini telah tumbuh besar dan berbuah. Mereka bertiga disambut kepulangannya oleh ibundanya dengan penuh rasa suka ria.
Prestasi Syaikh Nawawi sebagai seorang alim tidak akan dapat diaraih tanpa upaya yang yang terus menerus. Sejak kanak-kanak dia adalah pelajar yang aktif dan serius, dia juga tdak pernah lupa untuk menghafal Al-Qur'an. Berbagai ilmu telah ia pelajari namun dari ilmu yang didapatnya tidak mejadikan Syaikh Nawawi merasa puas. Dan pada akhirnya Syaikh Nawawi beserta saudaranya bertekad meninggalkan negerinya. Mereka menuju kota Makkah, pada waktu itu Syaikh Nawawi baru berumur 15 tahun. Mereka di samping karena untuk menunaikan ibdah haji[4], di sana mereka juga belajar ilmu agama. Namun hanya Syaikh Nawawi yang bertahan di Makkah hingga 3 tahun, kedua saudaranya sudah kembali ke negeri asalnya. Di Hijaz Syaikh Nawawi dididik oleh para Sayid yaitu:
· Sayyid Ahmad bin Sayyid Abd Rahman an-Nawawi
· Sayyid Ahmad Dimyati
· Sayyid Ahmad Zaini Dahlan
· Syaikh Muhammad Khatib Sambas al-Hambali, Madinah.
Dalam menerima ilmu, Syaikh Nawawi tidak hanya di Makkah dan Madinah, tetapi beliau juga melakukan perjalanannya ke Syria dan Mesir. Karena ketidakpuasannya terhadap ilmu pengetahuan yang telah beliau perolehlah lalu beliau berjalan dan terus berjalan untuk mencari ilmu, ilmu dan ilmu. Di samping itu karena beliau merasa bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban utamanya, dan iktikad tersebut telah melekat dan menjadi karakter mendasarnya. Sebagaimana dengan hadits yang telah diriwayatkan :("thalabul 'ilmi faridhatun 'ala kulli muslimin wamuslimatun").[5]
Akhirnya pada tahun 1883 Syaikh Nawawi pulang ke Jawa Barat dengan bekal yang luas tentang ilmu keislaman. Melihat Syaikh Nawawi sebagi sosok 'alim muda dan simpatik yang baru saja pulang dari tanah suci, para pemuda di lingkungannya sangat tertarik untuk mengenal lebih dekat dan belajar kepadanya. Tidak ada aktifitas lain yang dilaporkan oleh Syaikh Nawawi muda ini selain belajar dan mengajar selama dua dekade ini. Pada saat inilah Syaikh Nawawi mempunyai peluang untuk menanamkan pengetahuannya melalui pengajaran di rumah-rumah dan di masjid-masjid. Beliau juga mengajarkan santri-santri di pesantren ayahnya.
Di suatu ketika Syaikh Nawawi berkunjung ke Jayakarta yang sekarng menjadi Jakarta. Di daerah Koja Jakarta Utara, terdapat seorang 'Alim keturunan Sayyid Utsman bin Aqil bin Yahya al-Alawi. Menurut Chaidar,[6] Sayyid Utsman membangun sebuah masjid Jami' di daerah Pekajan Jakarta Utara. Sebagai pemrakarsa masjid itu, tentu saja Sayyid Utsman-lah yang menunjukkan arah kiblatnya. Suatu ketika Syaikh Nawawi dating berkunjung ke masjid yang dibangun oleh Sayyid Utsman itu. Akan tetapi, ketika melihat posisi masjid itu, Syaikh Nawawi berpendapat bahwa masjid itu tidak tepat mengarah ke kiblat.
Namun ketika Syaikh Nawawi membenarkan posisi kiblat itu Sayyid Utsman masih tetap dalam pendiriannya bahwa arah kiblat masjid itu sudah tepat. Dan pada sasat itu Syaikh Nawawi menarik lengan bahu Sayyid Utsman untuk berdiri di dekatnya. Syaikh Nawawi lalu berkata:
"Lihatlah di sana, seraya Syaikh Nawawi menunjuk dengan jari tangannya ke arah kiblat yang dimaksud"
"Itulah ka'bah, coba lihatlah dari tempat kita berdiri sangat jelas bukan? Letak masjid ini agak ke kiri dari letak ka'bah itu. Jadi, letak masjid ini perlu digeser lagi kiblatnya agak ke kanan.
Melihat kenyataan itu, Sayyid Utsman berdiri termangu dan beliau berkata: "benar, arah kiblat masjid itu kurang tepat". Akhirnya Sayyid Utsman mengakui kebenaran dan kelebihan Syaikh Nawawi.
Merasa tidak betah di lingkungannya, sekitar tahun 1855 Syaikh Nawawi memutuskan untuk kemballi dan menetap di tanah suci. Hingga akhir hayatnya. Karena keluasan ilmu dan kepandaian Syaikh Nawawi, walau di negeri orang malah justru menarik minat anak-anak Indonesia untuk berguru pada Syaikh Nawawi dan diantaranya santri-santrinya dari Indonesia adalah:
· K.H. Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang, Jawa Timur (pendiri Nahdlatul Ulama')
· K.H. Khalil Bangkalan, Madura, Jawa Timur
· K.H. Ilyas, Serang Banten, Jawa Barat.
· K.H. Tubagus Muhammad Asnawi, Caringin, Jawa Barat.[7]
Mereka semua dengan giatnya menggali dan terus menggali ilmu dari Syaikh Nawawi. Yang mereka gali terutama daripada karya-karya Syaikh Nawawi sendiri karena Syaikh Nawawi telah menulis kira-kira tentang 9 bidang ilmu pengetahuan yakni: tafsir, fiqih, usul ad-din, ilmu tauhid (teologi), tasawuf (mistisme), kehidupan Nabi, tata bahasa Arab, hadits, dan akhlak (ajaran moral Islam).[8] Dan jumlahnya lebih dari 100 buah. Dari kesekian banyaknya karya-karya Syaikh Nawawi tersebut sudah bias mewakili dari karya-karyanya syaikh-syaikh yang lain.
Kesimpulan
Tak diragukan lagi bahwa Syaikh Nawawi adalah seorang ilmuwan. Perjalanan mental dan intelektualnya yang pada akhirnya mengantarkan Syaikh Nawawi ke negara-negara yang berada di belahan dunia ini. Namun menurut beliau hanya ke Hijazlah yang merupakan pilihan terbaiknya selama beliau berkelana menuntut ilmu, Karena di Hijazlah yang merupakan pusat pengetahuan Islam.
Beliau yakin bahwa ilmu pengetahuan adalah segalanya dan dengan itu Allah benar-benar akan meningkatkan kualitas manusia. Khususnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kitabnya, mereka yang dianugerahi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dari Tuhan adalah sebaik-baik makhluk.
Dilihat dari sejarah perjuangannya, alangkah hebatnya beliau dalam menuntut ilmu beliau tidak pernah merasa puas, sehingga ilmu yang beliau dapat benar-benar telah membentuk sebuah karakter Syaikh Nawawi menjadi seorang pahlawan yang sangat popular baik di negeri kita Indonesia ini hingga ke negara-negara lain dan bahkan hampir ke seluruh Negara di belahan dunia ini.
Dari ilmunya itu beliau banyak dikenal di penjuru dunia dan telah banyak menarik santri untuk menimba ilmu kepadanya. Namun dengan segala kerendahannya Syaikh Nawawi tidak merasa congkak dengan ilmu yang dipanggilnya. Anak salut dan kagumnya kepada beliau, bahwa dengan hidupnya yang penuh dengan pemikiran yang intelektual tidak menjadikan beliau berhenti tetap tetap mengajar mengajar, menulis dan belajar.
Satu yang sangat perlu dikenangkan yaitu bahwa apa yang beliau karya adalah merupakan pengalaman yang beliau alami secara akademis. Melihat dari banyaknya karya menjadikan nama beliau tetap masyhur dan senantiasa dikenang.


[1] Chaidar, Sejarah Pujangga Islam Syech Nawawi Al-Bantani Indonesia, Sarang Utama, Jakarta, 1978, hal. 51
[2] Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Versi Indonesia, INIS, Jakarta, 1992, hal. 83-88
[3] Chaidar, Op. Cit., hal. 29
[4] Ibid, hal. 5
[5] Ibnu Majjah, Muqaddimah, hal. 90
[6] Chaidar, Op. Cit., hal. 60-61
[7] H. Rofiudin Romli, Sejarah Hidup dan Keturunan Syaikh Kyai Muhammad Nawawi, Tanara, 1979, hal. 10-11
[8] C. Brockelmann, "al-Nawawi", The Encyclopedia of Islam, hal. 1040-1041